Esensi Puasa Dalam Hikmah

Daftar Isi

Hakikat Puasa: Makna dan Hikmah Menurut Islam dan Sufi

Gambar Ilustrasi Tentang Esensi Puasa

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Kali ini kita akan membahas apa esensi puasa dalam sudut pandang hakikat serta mengambil ilmu hikmah dalam puasa yang diperintahkan Allah SWT melalui Rasul-Nya.

Apa Itu Puasa?

Puasa dalam bahasa Arab disebut “ṣawm” (صَوْمٌ) atau “ṣiyām” (صِيَامٌ), yang secara etimologis berarti menahan diri atau berhenti dari sesuatu. Kata ini berasal dari akar kata ṣa-wa-ma (ص و م), yang dalam bahasa Arab klasik berarti menahan diri dari sesuatu yang biasa dilakukan, seperti makan, minum, dan berbicara.

Menurut Jurnal Akademik

Makna Etimologis dan Terminologis

Menurut penelitian dalam jurnal Qudwah: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir, ṣawm dalam Al-Qur’an tidak hanya bermakna menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari ucapan yang tidak baik serta menjaga kesucian jiwa (Sya’ban, 2021).

“Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa (ṣawm), maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.”

(QS. Maryam: 26)

Ayat ini menunjukkan bahwa ṣawm pada masa itu juga mencakup menahan diri dari berbicara, bukan hanya dari makan dan minum.

Puasa dalam Perspektif Islam dan Kesehatan

Sebuah penelitian dalam International Journal of Islamic Thought (Rahman, 2020) menyebutkan bahwa puasa tidak hanya memiliki dimensi ibadah tetapi juga bermanfaat secara fisik dan psikologis.

Menahan haus dan lapar saat berpuasa termasuk dalam kategori wajib karena memberikan waktu bagi sistem tubuh untuk beristirahat dari proses pencernaan. Sebagai contoh, konsumsi daging kambing dalam jumlah berlebihan dapat meningkatkan tekanan darah karena kandungan lemak jenuh dan zat tertentu di dalamnya. Dengan berpuasa, tubuh memiliki kesempatan untuk menyeimbangkan kembali kadar zat-zat tersebut, mengoptimalkan metabolisme, serta meningkatkan kesehatan secara keseluruhan.

Hakikat Puasa dalam Pandangan Sufi dan Syekh Abdul Qadir al-Jailani

Bagi kaum sufi, puasa bukan sekadar menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan secara fisik, tetapi lebih dalam dari itu—puasa adalah latihan spiritual untuk membersihkan jiwa, mengendalikan hawa nafsu, dan mendekatkan diri kepada Allah dengan kesadaran penuh.

Menahan Diri Secara Lahir dan Batin

Dalam ajaran tasawuf, termasuk yang diajarkan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani, puasa sejati bukan hanya soal perut yang kosong, tetapi juga soal hati yang bersih dari segala sifat buruk. Beliau menekankan bahwa puasa bukan hanya menahan lapar dan haus, tetapi menahan diri dari segala bentuk maksiat dan keburukan.

“Bukanlah puasa itu hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan anggota badan dari segala dosa.”

(Syekh Abdul Qadir al-Jailani)

Tingkatan Puasa dalam Tasawuf

Tingkatan Puasa Makna
Puasa Umum Menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri.
Puasa Khusus Menjaga seluruh anggota tubuh dari perbuatan maksiat (lidah dari ghibah, mata dari pandangan haram, hati dari niat buruk).
Puasa Khususul Khusus Memusatkan hati hanya kepada Allah, menjauhkan diri dari segala hal yang melalaikan dari mengingat-Nya.

Puasa sebagai Sarana Menundukkan Hawa Nafsu

Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani, manusia memiliki dua kecenderungan dalam dirinya:

  • Nafs al-ammarah (hawa nafsu yang selalu mengajak pada keburukan).
  • Ruh yang suci (potensi fitrah manusia untuk mendekat kepada Allah).

“Jika engkau berpuasa hanya dengan perut, tetapi hatimu masih penuh dengan kebencian, kesombongan, dan cinta dunia, maka puasamu belum mencapai hakikatnya.”

(Syekh Abdul Qadir al-Jailani)

Puasa sebagai Jalan Menuju Ma’rifatullah

Syekh Abdul Qadir al-Jailani menekankan bahwa tujuan tertinggi dari puasa adalah mengenal Allah (ma’rifatullah). Ketika seseorang berpuasa dengan kesadaran penuh, ia tidak hanya menahan lapar tetapi juga menjadikan puasanya sebagai jalan untuk lebih dekat dengan Allah.

“Puasa sejati adalah ketika hatimu tidak lagi tergantung pada dunia, tetapi hanya bergantung kepada Allah semata.”

(Syekh Abdul Qadir al-Jailani)

Kesimpulan

Puasa menurut kaum sufi bukan hanya soal menahan lapar, tetapi juga menahan diri dari segala yang menjauhkan dari Allah. Hakikat tertinggi dari puasa adalah mencapai kesadaran dan hubungan yang lebih dalam dengan Allah.

Jadi, apakah puasamu sudah mencapai hakikat sejatinya?

Posting Komentar